Integrasi Islam dan Demokrasi dalam Wacana Revisi UU ITE

Blog Single

Konsorsium jilid 3 Fakultas Syariah (FS) dilaksanakan Rabu, 2 Maret 2021 mulai pukul 09.00 via zoom meeting. Sirajul Munir, SH., MH. selaku narasumber menyuguhkan materi berjudul “Integrasi Islam dan Demokrasi dalam Wacana Revisi UU ITE”.

“Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan salah satu wujud penghargaan pemerintah terhadap demokrasi. Karena disitu kita (baca: masyarakat) mempunyai hak berbicara, berkumpul maupun berserikat. Namun dalam berbicara, berkumpul dan berserikat tentu ada norma-norma atau batasan-batasan” tutur Dr. Any Ismayawati, SH., M.Hum. (Dekan FS) pada keynote speaker.

UU ITE kemudian menjadi polemik karena ada beberapa kasus dimasyarakat yang semestinya tidak bersalah, justru terjerat sanksi hukum sebab melanggar salah satu pasal dalam UU ITE. Beberapa pasal dalam UU tersebut oleh banyak pihak dianggap sebagai “pasal karet”. Hal itulah yang membuat ramai munculnya usulan revisi. Diskusi nanti akan menarik karena wacana revisi UU ITE oleh narasumber juga dilihat dalam perspektif Islam,  lanjutnya.

“Baru-baru ini mencuat kabar bahwa pemerintah sedang butuh dikritik untuk kemajuan, hal tersebut disampaikan presiden Jokowi secara terbuka. Disisi lain beberapa kelompok masyarakat merasa khawatir terjadi tindakan represif yang berujung kriminalisasi. Hal ini dianggap sebagai paradoks dalam negara hukum yang demokratis”. Ungkap Munir mengawali pemaparan materinya.

Prinsip dan ajaran-ajaran Islam dalam demokrasi adalah toleran (tasamuh), egaliter (al musawah), ukhuwah wathoniyah, musyawarah (as syura) dan adil (al ‘adalah). Hal tersebut tercermin pada Pancasila, dengan demikian menurut hemat saya demokrasi negara Indonesia termasuk didalamnya upaya mewujudkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan melalui undang-undang sudah senafas dengan ajaran Islam, imbuhnya.  

Hukum bersifat dinamis, UU yang ada tidak pasti sempurna. Evaluasi terhadap UU merupakan bagian dari demokratisasi di negeri ini yang melibatkan publik antara lain: Judicial Review, Legislatif Review dan Eksekutif Review.

Wacana revisi UU ITE harus berangkat dari gagasan perbaikan substansi hukum bahwa hukum harus dapat merekayasa masyarakat agar baik dalam memanfaatkan teknologi dan hukum mampu memberikan perlindungan bagi semua pengguna teknologi.

Berikutnya adalah struktur penegakan hukum yang adil. Keberadaan pasal-pasal hukum akan memiliki dampak berbeda bergantung pada penafsiran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Jalan keluarnya adalah adanya pedoman interpretasi resmi terkait pasal-pasal UU ITE yang berpotensi multi tafsir.

Disisi lain hukum harus mampu membentuk budaya hukum masyarakat yang beradab (kultur hukum). Tidak dibenarkan kritik atas nama kebebasan dan demokrasi justru menjurus pada sikap yang memuat penghinaan, pencemaran nama baik atau ujaran yang menimbulkan kebencian dan permusuhan.

“Pada pokoknya dari ketiga komponen sistem hukum yang terdiri dari substansi, struktur dan budaya (kultur) harus bersinergi. Revisi yang sedang diupayakan hanya bagian kecil dari sistem hukum yang ada. Selebihnya kita berharap pada penegakan hukum dan budaya sadar hukum masyarat sehingga UU ITE dapat mewujudkan kehidupan yang adil dan beradab” pungkas Munir menutup pemaparannya.  (KUA.red)

Share this Post1:

Galeri Photo